Nama: Acan
Alamat: Sigli, Atjeh
Pendidikan:Mahasiswa Unigha
Status: Diragukan


My Ping in TotalPing.comIncrease Google Page RankSaung Bisnisku





Buat temen-temen yang mo tukeran link, silahkan konfirmasi di kotak komentar.

Tapi sebelumnya, jangan lupa pasangin link saya ya... :D

Ini kode link saya,



Link Sobat




Page Ranking Tool
Kerajaan Aceh berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukkan oleh Majaphit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai terus mengalami kemudunduran. Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M) .

Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.

Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, , Aceh Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut.

Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.

Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka.

Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak diMalaka yang secara efektif bisa direbut dari portugis tahun 1575


1. Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M)
2. Sultan Salahuddin (1528-1537).
3. Sultan Ala� al-Din al-Kahhar (1537-1568).
4. Sultan Husein Ali Riayat Syah (1568-1575)
5. Sultan Muda (1575)
6. Sultan Sri Alam (1575-1576).
7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577).
8. Sultan Ala� al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala� al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604).
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636).
13. Iskandar Thani (1636-1641).
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675).
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala� al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala� al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-�)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah.
29. Sultan Ala� al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)
35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh.

Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh.

Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama `Cakra Donya " (Cakra Dunia) waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.

Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga sekarang (halaman Musium).

Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan
di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam
catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu
kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang
dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks
Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-
li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui
bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan
Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.

Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya
bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap
mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la
(Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan
barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah
catatan terperinci mengenai Aceh modern.

Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai
Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur
sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur
Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir
dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok
atau Timur Tengah, India.

Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad
13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari
Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai
ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak
barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke
Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal
1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu.

Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam
(dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam
keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini
disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat
(India), yang singgah atau menetap di Pasai.

Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti
adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja
Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,
komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena
Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka
berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang
berkarakter kosmopolitan dan multietnis.

Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk selamanya.

Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu, Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll.

Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai perkampungan- perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya. Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.

Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis). Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.

Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam, periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.

Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap memelihara Babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri(orang Gujarat,penasihat Sultan,ahli tasawuf). Diceritakan bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina" (paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.

Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong" (Pecinan Banda Aceh).

Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan Aceh, Denys Lombard)
Mesjid Baiturrahman telah menjadi simbol Aceh. Menelusuri sejarah Mesjid yang berada di jantung kota Banda Aceh ini, ibarat melihat perjalanan bumi Serambi Mekah. dimulai dari masa kesultanan, penjajahan Belanda dan masa bersama Indonesia lengkap dengan pemberontakannya. Mulai Daerah Operasi Militer, perjanjian damai hingga bencana tsunami. Rumah ibadah ini menyaksikan semuanya.

Sejarah mencatat, Baiturrahman kembali melewati satu babak dalam sejarah masyarakat Aceh. Mesjid ini merupakan simbol Aceh. Perjalanan Mesjid ini juga merekam sejarah Aceh. Karena itu tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Aceh, tanpa menengok Mesjid berkubah lima ini dan sedikit mengenal sejarahnya.

Mesjid ini sudah berada di tengah kota Banda Aceh sejak zaman kesultanan. Ada dua versi hikayat pendiriannya. Ada yang menyebut Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah membangun Mesjid ini pada abad ke 13.

Dalam versi lain menyatakan Baiturahman didirikan pada abad 17, pada masa kejayaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Tak ada yang bisa memastikan mana yang benar. Nama Baiturahman, menurut catatan sejarah, diberikan oleh Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu Mesjid ini menjadi salah satu pusat pengembangan ajaran Islam wilayah kerajaan Aceh. Perubahan fisik mesjid mengikuti alur sejarah bumi Serambi Mekah. Bangunan yang kelihatan sekarang bukanlah lagi bangunan semasa zaman kesultanan. Pada masa kesultanan, gaya arsitektur Baiturahman mirip Mesjid-Mesjid tua di Pulau Jawa. Bangunan kayu dengan atap segi empat dan bertingkat yang memiliki 1 kubah.

Pada 1873, mesjid ini dibakar oleh Belanda dikarenakan mesjid dijadikan pusat kekuatan tentara Aceh melawan Belanda. Dan pada tahun itu pula terjadi pertempuran besar antara rakyat Aceh dengan tentara Belanda. Tembak menembak yang membuat gugurnya salah seorang perwira tinggi Belanda bernama Kohler. Pertempuran di Mesjid ini dikenang lewat pembangunan prasasti Kohler pada halaman Mesjid. Letak prasasti di bawah pohon Geulempang, yang tumbuh di dekat salah satu gerbang Mesjid.

Peletakan batu pertama pembangunan kembali Mesjid dilakukan tahun 1879 oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembangunan mesjid ini dirancang arsitek Belanda keturunan Italia, De Brun. Bahan bangunan Mesjid sebagian didatangkan dari Penang � Malaysia, batu marmer dari Negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma dan tiang-tiang mesjid dari Surabaya. Pembangunan kembali Mesjid dengan satu kubah, selesai dua tahun kemudian. Pada masa residen Y. Jongejans berkuasa di Aceh Mesjid ini kembali diperluas. Kemudian setelah itu, masyarakat Aceh semakin besar, untuk mengupahi dan meredakan kemarahan rakyat Aceh maka Mesjid diperluas lagi kiri kanannya pada tiga tahun kemudian. Ditambahlah dua kubah lagi di atasnya sehingga menjadi tiga kubah. Belanda kemudian meninggalkan Aceh. Bumi Nangroe beralih pada Indonesia.

Pada 1957, masa pemerintahan presiden Soekarno, Mesjid ini kembali berubah. Dua kubah baru dibuat di bagian belakang. Dibangun pula dua menara dengan jumlah tiang mencapai 280 buah. Karena perluasan ini, sejumlah toko di pasar Aceh yang berada di sekeliling mesjid tergusur. Peletakan batu pertama dilakukan oleh menteri agama Republik Indonesia pada masa itu KH Ilyas, kemudian dibangun kira-kira empat tahun. Bangunan berikutnya itu sudah sampai pada menara yang berikut ini. Renovasi Mesjid yang dilakukan pemerintah Soekarno terjadi pada masa gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Sehingga banyak kalangan yang mengaitkan pembangunan itu sebagai usaha pemerintah meredam pemberontakan itu. Lima kubah juga dianggap mewakili Pancasila yang digagas Soekarno. Pada kurun 1992-1995, Mesjid kembali dipugar dan diperluas hingga memiliki tujuh buah kubah dan lima menara. Setelah dipugar, Mesjid itu mampu menampung 10.000 hingga 13.000 jemaah. Halaman Mesjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.

Semua pemugaran ini dilakukan dengan mempertahankan arsitektur dan bentuk ornamen lama pada masa Belanda. Salah satu tiang peninggalan Belanda, ketika Mesjid masih berkubah satu, masih dipertahankan. Arsitektur Mesjid ini bercorak eklektik, yaitu gabungan berbagai unsur dan model terbaik dari berbagai negeri.Ini misalnya tampak pada tiga pintu bukaan serta jendela yang bisa berfungsi sebagai pintu masuk. Jendela ini dibentuk oleh empat tiang langsing silindris model arsitektur Moorish, yang banyak terdapat di Mesjid-Mesjid Afrika Utara dan Spanyol. Sementara bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar, diatapi kubah utama yang bercorak bawang. Pucuknya dihiasi kubah, mirip Mesjid-Mesjid kuno di India. Pada jendela yang sekaligus menjadi pintu terdapat ukiran yang tampak kokoh dan indah. Untuk menambah kemegahan dan keindahan, Mesjid ini ditempatkan di tengah lapangan terbuka, sehingga semua bagian Mesjid jelas terlihat juga dari kejauhan.

Mesjid Baiturrahman menjadi saksi darurat militer di Aceh, ketika muncul Gerakan Aceh Merdeka. Baiturrahman ini menjadi tempat memanjatkan doa dan harapan rakyat Aceh atas tanggungan beban konflik yang dideritanya. Baiturrahman ini juga menjadi sarana singgah pejabat pusat mengunjugi Aceh yang ketika itu tak aman. Baiturrahman yang konon merupakan salah satu Mesjid terindah Asia Tenggara ini juga menjadi saksi bisu bencana tsunami. Bencana memilukan itu juga merusak sejumlah bagian Mesjid. Rakyat menyelamatkan diri kedalam mesjid sembari meneriakkan Asma Allah.
Pada halaman Mesjid inilah berdirinya posko bencana pertama pasca tsunami Desember 2004 tersebut. Mesjid ini tangguh bertahan dari gempa dan terjangan air laut yang naik ke daratan. Hanya sedikit bangunan yang retak akibat gempa.

Pasca tsunami perdamaian datang. Mesjid ini kembali menjadi bagian sejarah itu. Di Mesjid inilah warga menggelar doa khusus ketika delegasi Indonesia bertemu dengan wakil Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia. Mesjid Baiturrahman menyaksikan perubahan Aceh pasca tsunami dan perjanjian damai. Ketika syariah Islam berlaku di Serambi Mekah, kawasan Mesjid Baiturahman dinyatakan sebagai area terbatas. Hanya pengunjung yang menutup aurat sesuai hukum syariah boleh masuk halaman Mesjid.

Malik al-Salih (Malik ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik al Salih atau Malik ul Saleh) mendirikan kerajaan Islam pertama di nusantara, yaitu Samudera Pasai pada tahun 1267. Nama aslinya adalah Meurah Silu.

Ia adalah keturunan dari Suku Imam Empat ( Suku Imam Empat atau Sukee Imuem Peuet adalah sebutan untuk keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh Pra-Islam, diantaranya Maharaja Syahir Po-He-La yang mendirikan Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mendirikan kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli(Pau-Ling) yang mendirikan kerajaan Sama Indra di Pidie dan Syahir Nuwi yang Mendirikan Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar)

Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521. Raja pertama bernama Sultan Malik as-Saleh yang wafat pada tahun 696 H atau 1297 M, kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Sultan Malik at-Thahir.

Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304�1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.

Belum begitu banyak bukti dan berita tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.

Pengelompokan budaya dalam empat pembagian budaya berdasarkan kaum (kawom) atau disebut pula sebagai suku (sukee) besar mengikuti penelusuran antara lain melalui bahasa purba yakni; [5][8][9]

* Budaya Lhee Reutoh (kaum/suku tiga ratus) yang berasal dari budaya Mantee sebagai penduduk asli.
* Budaya Imeum Peuet (kaum/suku imam empat) yang berasal dari India selatan yang beragama Hindu.
* Budaya Tok Batee (kaum/suku yang mencukupi batu) yang datang kemudian berasal dari berbagai etnis Eurasian, Asia Timur dan Arab.
* Budaya Ja Sandang (kaum/suku penyandang) yaitu para imigran India yang umumnya telah memeluk agama Islam.

Dalam keseluruhan budaya tersebut diatas berlaku penyebutan bagi dirinya sebagai Ureueng Aceh yang berarti orang Aceh.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.

Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Dalam sumber buku kronik kerajaan Liang dan kerajaan Sui di Tiongkok pernah disebutkan sekitar tahun 506 sampai 581 Masehi terdapat kerajaan Poli yang wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar sedangkan dalam Nagarak?tagama di sebut sebagai Kerajaan Lamuri yang dalam sumber sejarah Arab disebut dengan Lamkrek, Lam Urik, Rami, Ramni sedangkan dan dalam sumber sejarah Tiongkok lainnya disebut pula dengan nama Lan Li, Lan-wuli atau Lan Wo Li dengan pelabuhan laut bernama Ilamuridesam sebagaimana juga pernah disingahi dan ditulis oleh Marco Polo (1292) asal Venesia dalam buku perjalanan pulang dari Tiongkok menuju ke Persia (Iran)saat itu masih berada dibawah pengaruh kedaulatan kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa (dinasti) Syailendra dengan raja pertamanya Balaputera Dewa, yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang kuat dan daerah kekuasaannya meluas, meliputi Tulang Bawang, Pulau Bangka, Jambi, Genting Kra dan pulau Jawa yang kemudian membangun Borobudur.


Rute perdagangan di Asia Timur-Selatan pada abad kedua belas.

Ketika kerajaan Sriwijaya sedang mencapai puncak kejayaannya dan kemakmurannya yang memainkan peran penentu dengan menetapkan pola perdagangan terdiri atas tiga lapisan yakni pelabuhan dan pergudangan utama pada Palembang sedangkan pelabuhan dan pergudangan sub-regional seperti Ilamuridesam (Lamuri), Takuapa (Kedah), Jambi dan Lampung selanjutnya diikuti Sungsang serta beberapa pelabuhah kecil lainnya menggunakan alur sungai Musi dimana dalam hegemoni alur perdagangan ini kerajaan mendapatkan upeti berkemakmuran ternyata mengundang kedatangnya ekspedisi armada dari raja Rajendra Chola dari Chola India selatan pada tahun 1025 dengan melakukan serangan kepada seluruh pelabuhan-pelabuhan di Sriwijaya termasuk Ilamuridesam (Lamuri) dan Takuapa (Kedah) yang dihancurkan menjadi sunyi seperti yang diriwayatkan dalam prasasti Tanjore 1030 di India yang mengatakan bahwa dalam mengirimkan sejumlah kapal yang sangat besar ke tengah-tengah laut lepas yang bergelombang sekaligus menghancurkan armada gajahnya yang besar dari kerajaan melayu Sriwijaya dan merampas harta benda yang sangat banyak berikut pintu gerbang ratna mutu manikam terhias sangat permai, pintu gerbang batu-batu besar permata dan akhirnya Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayatunggawarman dapat ditawan kemudian dilepas setelah mengaku takluk, tak lama kemudian armada Chola kembali kenegerinya sedangkan sejumlah lainnya menetap dan menjadi bagian dari penduduk, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyerangan tersebut lebih ditujukan untuk mengamankan atau pengambil alihan jalur perdagangan pada selat Malaka yang pada waktu itu sudah merupakan jalur perdagangan internasional yang penting daripada melakukan sebuah pendudukan dikala kekuatan militer dan diplomasi Sriwijaya sedang melemah karena lebih tertuju pada perkembangan perdagangan.sejak kekalahan ini kewibawaan kerajaan Sriwijaya mulai menurun dengan dratis yang memberikan peluang bagi kerajaan-kerajaan yang dahulu berada dibawah kedaulatan Sriwijaya mulai memperbesar dan memperoleh kembali kedaulatan penuh. Walaupun demikian keberadaan Sriwijaya baru berakhir pada tahun 1377.